Batik Rifaiyah dan Laku Spiritual

Batik Rifaiyah dan Laku Spiritual

Siang itu, 23 Desember 2015 kami dari tim Batang Heritage menyusuri kampung Kalipucang Wetan Batang Jawa Tengah. Melewati pagar halaman sebuah masjid yang berlorong kecil langsung terhubung sebuah rumah sederhana dengan pintu terbuka. Tampak seorang perempuan tua berkerudung putih berkebaya, berjarik batik sedang khusyuk membatik. Umurnya sekitar 75-an tahun, duduk di dingklik (bangku kecil) dari kayu di atas lantai di seberang pintu rumahnya yang remang-remang. Cahaya matahari menerobos masuk melalui pintu, serasa hanya ingin mencahayai perempuan tua yang sedang membatik ini saja. Sesekali asap dari kompor kecilnya yang menyala berisi malam memendar di udara di antara terobosan matahari dan bergerak di antara tubuhnya.
Tangannya yang kurus keriput menari-nari dengan cantingnya menggoresi kain putih di pangkuannya. Sesekali tangannya itu mengisi kembali cantingnya dengan larutan malam di atas kompor, dan meniup ujung canting dengan mulutnya, serasa meniupkan doa kepada Sang Maha Kuasa agar tinta malamnya senantiasa siap dan pasti untuk menjadi sebuah gambar di atas kain putihnya sesuai kehendaknya dan ridhoNya.


Mak Um (Umriyah), pembatik Rifaiyah (foto, mja nsr)

Demikianlah Mak Um, panggilan perempuan bernama Umriyah yang merupakan salah satu umat Rifaiyah (ajaran keIslaman yang disyiarkan KH. Ahmad Rifa’i, seorang ulama sekaligus pahlawan yang hidup di tahun 1786-1869, pernah bermukim di Batang dan berjuang melawan penjajah kolonialisme Belanda melewati syiarnya). Tiap hari Mak Um mengerjakan batik di rumahnya. Beliau merupakan salah satu pembatik maestro di kampung yang mayoritas adalah umat Rifaiyah ini. Semua proses dalam pembuatan batik, dari awal hingga akhir yang tahap-tahapnya banyak dan memakan waktu yang lama itu, beliau kerjakan sendiri. Kemampuan yang sudah jarang dimiliki oleh para pembatik lainnya di luar kampung ini, karena di tempat lainnya sudah terpengaruh rasionalisasi yang begitu kuat dari arus modernisasi, di mana pengerjaan batik menjadi pekerjaan yang telah terbagi-bagi (divison of labour) yang masing-masing proses/tahap akhirnya punya spesialisanya sendiri-sendiri. Namun kebanyakan di kampung ini, setiap pembatiknya masih mampu mengerjakan semua tahapan dari awal hingga akhir sendiri, seperti halnya Mak Um ini.
Tepat di belakang Mak Um yang sedang asyik bekerja tampak sebuah dipan kayu sederhana, yang bisa menjadi tempat tidurnya (terdapat bantal dan kasur) sekaligus menjadi tempatnya menunaikan sholat lima waktu, juga bisa berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu-tamu yang datang sewaktu-waktu, di mana kain-kain batik ciptaannya bisa digelar disitu untuk dilihat oleh siapa saja yang datang, baik untuk sekedar melihatnya atau pun untuk membelinya. Demikian efesien, praktis dan tanpa ribet dalam mengelola ruang sederhananya dan bagaimana Mak Um mengelola pekerjaan batiknya.
“Saatnya sholat ya tinggal sholat saja di sini. Pekerjaan saya tinggalkan sejenak. Saatnya capek pengin istirahat ya tinggal rebahan saja di atas dipan ini. Namun sering malam-malam saya tiba-tiba terbangun sendiri dan ada kekuatan dalam diri yang muncul untuk membatik. Ya meskipun di malam hari akhirnya saya tetap membatik jika dorongan untuk membatik itu muncul. Dan semuanya seperti mengalir begitu saja. Tangan saya dengan canting bergerak dengan lancar seperti tiba-tiba semuanya bisa terwujud menjadi nyata apa yang semula masih ada dalam angan-angan saja. Saya merasa bersyukur atas ini, Gusti Allah masih maringi (memberikan) kekuatan pada diri saya untuk mbatik,” ujar Mak Um dalam bahasa Jawa setempat dengan lancar sambil terus bekerja dengan cantingnya.
Menyelami perkataan Mak Um tentang bagaimana beliau dengan pekerjaannya, semakin menegaskan bahwa diri Mak Um adalah sosok yang kreatif dalam penciptaan karya batik. Bagaimanapun jua sejatinya beliau adalah seorang seniman.


Mbak Utin (Miftahutin), ketua paguyuban batik Rifaiyah (foto mja nsr)

“Benar demikian,” ujar Mbak Utin (Miftahutin, 40 th) ketua paguyuban Batik Rifaiyah Kalipucang Wetan Batang yang membawa kami ke rumah Mak Umriyah ini, “ketika dulu saya masih aktif membatik juga merasakan hal itu. Kita seperti merasakan ada kebebasan yang bergerak, yang menggerakkan tangan kita, menggerakkan lelehan malam lewat canting di atas kain. Banyak hal yang saya rasakan saat membatik yang mengalir sedemikian rupa. Malah sering pula sambil menghayal.”
Keterangan-keterangan dari Mak Um dan Mbak Utin menyiratkan ada kekuatan ekspresi yang sifatnya personal dalam batik Rifaiyah yang sejatinya juga merupakan ekspresi komunal ini. Sebagai ekspresi komunal jelas bahwa batik ini hanya dikerjakan oleh komunitas kaum Rifaiyah saja. Meskipun memang ada beberapa tempat lainnya selain Kalipucang Wetan dan sekitarnya yang merupakan basis kaum Rifaiyah, seperti di Paesan Kedungwuni, Madukaran dan Bojong di Kabupaten Pekalongan. Namun di tempat-tempat itu kini sudah semakin jarang para pembatiknya, sedangkan di Kalipucang Wetan Batang ini justru masih langgeng dan kuat komunitas batik rifaiyahnya. Di kampung ini ada sekitar 60 orang pembatik. Sebagai ekspresi komunal atau ‘bahasa komunitas (umat)’ baik di Kalipucang Wetan dan sekitarnya ini maupun di tempat-tempat lainnya itu motif-motifnya batiknya kurang lebih sama. Dan oleh karena sentuhan ‘kebebasan’ ekspresi personal itu yang menyebabkan antara, “batik yang dikerjakan oleh satu pembatik rifaiyah dengan lainnya bisa ada perbedaan dalam ‘langgam’ atau perbedaan dalam ‘cengkok’nya. Begitu juga batik Rifaiyah keluaran Kalipucang Wetan ini bila dibandingkan dengan batik rifaiyah dari tempat-tempat lainnya itu,” jelas Mbak Utin kembali.


"Mencanting" (foto mja nsr)

Ada semacam ‘kebebasan’ sebagai seniman batik Rifaiyah dalam memulai pekerjaan batiknya, apalagi karena batik rifaiyah ini justru dikerjakan langsung secara ‘freehand’ tanpa sketsa pensil terlebih dulu atau jiplakan (japlak) di atas mori putih sebelum ditera dengan malam. Kebebasan yang sekaligus keyakinan menggoreskan malamnya sejak proses awal itu, menegaskan keyakinan para pembatik rifaiyah ini atas kuasa Sang Pencipta akan firmanNya, “Jadilah, maka jadi! (kun faya kun).
Siang yang telah menjelang sore itu di rumah Mak Um ini, selain Mbak Utin dan kami tim Batang Heritage akhirnya muncul juga Mak Atun, salah seorang pembatik senior seumuran dengan Mak Um. Beliau menggunakan busana yang juga sama dengan Mak Um, berkerudung putih dengan kebaya dan jarit batik, menjadi ciri khas umat Rifaiyah di kampung ini. Bersama mereka semua kami banyak mendiskusikan Batik


Mak Um dan Mak Atun (foto Imang Jasmine)

Rifaiyah dengan hangat. Satu persatu batik-batik Rifaiyah dengan berbagai motif yang rumit-rumit penuh detail itu pun digelar di atas dipan Mak Um ini. Kain-kain ini ternyata dibatik pada dua sisi kainnya (bolak-balik) atau yang disebut dengan ‘terusan’. Sudah rumit, dibuat bolak-balik lagi, sudah jelas pekerjaan yang panjang, makan waktu lama sekitar tiga bulan untuk menghasilkan kain batik semacam ini. Bahkan sejak masih berupa kain putih (mori) pun mereka tidak langsung membatiknya, mereka rendam dulu dengan minyak kacang selama 3-5 hari, sebuah teknik kuno, kethelan, yang masih mereka tetap lakukan, demi kelancaran masuknya lilin dan warna saat proses pembatikan. Maka sebenarnya masuk akal jika ketika telah jadi kain-kain indah ini harganya mahal.
Berkaitan dengan mahal dan tidaknya, atau bagaimana mereka bisa hidup secara ekonomi jika karya-karyanya tidak laku, sesungguhnya komunitas batik Rifaiyah ini telah memiliki solusi yang bijak dan tepat. Mereka juga mengeluarkan produk-produk yang murah atau cepat laku, yaitu apa yang mereka sebut dengan “batik kendil”, batik sederhana (motif yang mereka sebut krokotan, kiyongan, dll) yang diproduksi untuk menjaga agar kendil (tempat menanak nasi) / dapur mereka tetap ngebul demi menopang keperluan hidup sehari-hari. Namun untuk motif-motif utama atau Batik Rifaiyah mereka tetap menjaga agar kualitas senantiasa tetap prima. Pendeknya, mereka tak mungkin untuk ‘mengendilkannya’.
Di antara motif-motif batik Rifaiyah dari koleksi yang Mak Um dan Mak Atun punya ini, kami bawakan juga salah satu koleksi batik Rifaiyah dari Kedungwuni yang usianya cukup tua. Mereka begitu semangat memeriksa tiap detil dan kelembutan dari batik tua asal Kedungwuni ini. Dari situ mereka juga akhirnya banyak cerita bahwa hubungan dengan Kedungwuni sangat kuat sekali. Bahkan banyak yang dulunya dari Kalipucang ini yang belajar membatik dari para pembatik Kedungwuni, tempat yang di saat ini justru semakin menipis para pembatik Rifaiyahnya. Dari hal ini pula kita mendapati kenyataan bahwa batik Rifaiyah persebarannya sangatlah ekslusif karena bergerak di antara umatnya yang kenyataannya tidaklah hanya di satu tempat. Dan saat ini Kalipucang Wetan ini menjadi satu-satunya tempat yang paling kuat dengan tradisi batik Rifaiyah ini.
Dalam batik Rifaiyah terdapat pengaruh kuat dari ajaran Islam yang diajarkan oleh guru besar umat Rifaiyah, KH. Ahmad Rifai melewati kitab karyanya, Tarajumah. Salah satu ajarannya ini melarang penggambaran makhluk hidup selain tumbuh-tumbuhan (flora) yang menyesatkan aqidah, kecuali yang sudah mati atau yang sudah terpotong. Bila ada gambar hewan yang masih hidup maka hukumnya haram untuk dipakai sebagai pakaian. Ajaran ini menjadi dasar dan ciri utama bagi ragam hias / motif-motif batik Rifaiyah terkesan ‘floral’. Meskipun pada motif-motif batik rifaiyah terdapat bentuk-bentuk bagian hewan (fauna) namun dalam keadaan yang sudah tidak utuh lagi sebagai hewan (makhluk hidup) karena sudah dipotong-potong dan disamarkan menjadi berkesan floral.



motif 'lancur' dan 'gemblong sak iris'




'kotak kitir' dan 'dlorong'

Ada 24 motif batik Rifaiyah yang terdeteksi hingga saat ini. Yaitu; pelo ati, kotak kitir, banji, sigar kupat, lancur, tambal, kawung ndog, kawung jenggot, dlorong, materos satrio, ila ili, gemblong sairis, dapel, nyah pratin, romo gendong, jeruk no’i, keongan, krokotan, liris, klasem, kluwungan, jamblang, gendaghan dan wagean. Kain batik dengan motif-motif inilah yang menjadi busana bagi umat Rifaiyah; sebagai jarik bagi kaum perempuannya dan sarung bagi kaum laki-lakinya.
Dalam motif-motif batik Rifaiyah terkandung makna-makna spiritualitas yang dalam. Misalnya terlihat jelas dalam ragam hias Pelo Ati yang menggambarkan ajaran sufisme (tasawuf). Motif ini bergambar ayam merak yang kepalanya terpancung dan di dalam badannya ada hati dan di luarnya ada pelo (ampela). Hati menggambarkan sifat-sifat terpuji. Dalam hati terdapat delapan sifat manusia yang tercantum dalam kitab Tarajumah,


motif 'pelo ati'

yaitu zuhud (tidak mementingkan keduniawian), qana’at (merasa cukup atas karuniaNya), shabar (sabar), tawakal (berserah diri kepadaNya), mujahadah (bersungguh-sungguh), ridla (rela), syukur dan ikhlas, yang semuanya ini mengandung makna kahauf (takut), mahabbah (rasa cinta), dan makrifat (perenungan kepada Allah). Ampela menggambarkan tempatnya kotoran, yaitu sifat-sifat buruk manusia sebagaimana terdapat dalam kitab Tarajumah, yaitu hubbu al-dunya (mencintai dunia yang disangka mulia namun di akhirat sia-sia), thama’ (rakus), itba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu), ‘ujub (suka mengagumi diri sendiri), riya (suka dipuji), takabur (sombong), hasad (dengki) dan sum’ah (suka membicarakan amal kebajikannya pada orang). Dan semua sifat tercela dan kotor ini haruslah dibuang jauh-jauh.
Dari rumah Mak Um, kami melanjutkan kunjungan ke rumah pembatik lainnya, yaitu rumah Mak Kamilah (66 th). Melewati pintu samping kami menuju ke bagian belakang yang menjadi tempat workshop kerja batiknya. Ruang kerja yang lebih luas bila dibandingkan dengan ruangan Mak Um yang bekerja sendirian itu. Ruang kerja Mak Kamilah ini dipenuhi alat-alat perbatikan dan kain-kain batik Rifaiyah yang sedang dalam proses, tergantung di gawangannya. Dan yang menarik di tempat ini bahwa Mak Kamilah bekerja dengan dua anak perempuannya yang semuanya ahli mengerjakan batik Rifaiyah, Yumah (47 th) dan Masitoh (41 th). Di ruang ini Mak Kamilah bercerita bahwa beliau sejak umur 10 tahun belajar dari mendiang ibunya, dan mendiang ibunya belajar dari neneknya. Sebuah tradisi yang begitu kuat secara turun temurun dalam keluarga ini.
Dalam sejarah kain tradisional di negri ini para perempuanlah yang bekerja menciptakan kain untuk anaknya, untuk keluarganya. Atas posisi ‘tradisional’ semacam ini perempuan memiliki posisi penting dalam tatanan masyarakat. Di banyak tempat baik di Jawa atau di luar Jawa sering kita mendengar tentang bahwa seorang perempuan dianggap berkualitas bila mana perempuan tersebut telah pandai membuat kain tradisi. Dan bila seorang perempuan telah mencapai keahlian ini maka ia baru dianggap sudah layak untuk menikah atau berkeluarga. Dan dalam masyarakat tradisional seperti ini, ketika wanita itu telah berkeluarga dan telah menciptakan kain-kain untuk anak dan keluarganya, maka ia sebagai seorang ibu juga mengajari anak perempuanya akan keahlian atas kain tradisi ini. Selain itu kain tradisi sebagai pemenuhan kebutuhan busana sehari-hari juga menjadi penanda penting dalam ritus-ritus kehidupan seorang manusia, dari lahir, pernikahan, sampai kematian.
“Perempuan Rifaiyah membuatkan kain batik untuk calon suaminya yang disampaikan di saat pernikahan. Saya dulu melakukan itu juga,” kenang Mbak Utin dengan bangga.
Kekuatan Yang Luar Biasa




Di bulan Ramadhan 2012, di Museum Tekstil Jakarta saat saya sedang mempersiapkan sebuah pameran tentang tenun tradisional Indonesia, saat itu di Museum Tekstil sedang ada pameran bertajuk "Pengaruh Islam dalam Seni Wastra Indonesia". Oleh pengelola museum, saya diajak berkeliling melihat-lihat pameran ini. Di pameran seni wastra (kain) bernafas Islam itu banyak terdisplay batik Islam dari banyak tempat di Nusantara ini, baik itu dari Jawa, Sumatera dan daerah-daerah lainnya. Di antara semua stand booth yang penuh dengan kain bernafas Islam itu terdapat satu yang kosong. Hanya tulisan saja yang menjadi judul dari stand booth yaitu ‘Batik Rifaiyah’, dan beberapa foto motif serta sekelumit informasi tentangnya. Jadi kain batik Rifaiyah secara fisiknya tak satupun terdisplay di situ. Syukur, dengan pengelola museum itu, Bu Mis’ari, kami sudah saling akrab sehingga beliau mengajak saya ke stand ini. Beliau tahu dari mana Batik Rifaiyah ini. “Mas ini batik dari daerahmu. Kami belum mempunyai koleksinya. Jadi stand ini sementara masih kosong saja hanya berisi informasi. Contoh hasil batiknya tidak ada. Mohon Mas carikan Batik ini agar suatu hari kita bisa membuat pameran khusus tentangnya.” Saya terharu atas pernyataan dan ‘permohonan’ dari Bu Mis’ari ini. Ini menjadi catatan penting dalam hati saya, semoga saya bisa mencari tentang batik Rifaiyah ini. Meskipun saat itu kesibukan saya masih terus di luar Jawa yaitu di Sumatera Utara berkegiatan tentang tenun tradisional ulos Batak). Dan syukur tidak lama kemudian ketika saya telah kembali di rumah di Batang, tepatnya di sekitar 2013 datang seorang sahabat lama dari Kedungwuni, Hermanto yang membawa sahabatnya Mas Abu Saeri yang merupakan warga dari desa Kalipucang Wetan ini. Rasanya seperti kebetulan saja, malah tiba-tiba datang sendiri orang Kalipucang Wetan tempat Batik Rifaiyah yang sedang saya cari ini. Kedatangan Mas Abu ini juga membawa contoh-contoh Batik Rifaiyah. Salah satu diantaranya adalah motif yang di mata saya biasa saya melihatnya, yaitu motif yang jika di komunitas Rifaiyah Kalipucang Wetan disebut ‘Materos Satriyo’ yang ternyata sama dengan salah satu koleksi batik kuno milik ibu saya (yang dibuat oleh nenek saya) dari kampung halamannya, Kedungwuni di mana ibu saya biasa menyebutnya dengan nama “Materos”. Koleksi Batik ibu saya yang bagi kaum Rifaiyah motif yang bermakna ‘paseduluran’ (persaudaraan) ini yang akhirnya saya bawa bersama tim Batang Heritage (Agus Supriyanto, Solichin, Prasetyo Widhi, Imang Jasmine dan Ayunk Agustin) di 23 Desember 2015 untuk kami tunjukkan ke para pembatik Rifaiyah di Kampung Kalipucang Wetan, di rumah Mak Um itu yang akhirnya terjadi ‘silaturahmi antar batik’.

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda